Tuesday 7 April 2009

TIDAK PULANG KANGEN, MAU PULANG MALU

Pak Umar Bakri adalah buruh spidol. Tapi, awalnya dia merupakan buruh kapur tulis. Semenjak papan tulis berubah menjadi whiteboard, kapur tulis digantikan dengan spidol. Tidak mengherankan apabila spidol telah menjadi sahabat setianya.
Setiap hari Pak Umar Bakri selalu menyihir anak didiknya dengan kelincahan spidolnya di atas whiteboard. Kadangkala, Pak Umar Bakri mendapatkan keceriahan, tapi juga mendapatkan kejengkelan dari perilaku anak didiknya. Baginya, semua perilaku anak didiknya merupakan seni hiburan bagi kehidupannya.


KANGEN PAK UMAR BAKRI
Inilah yang membuat KANGEN Pak Umar Bakri ketika dia telah memutuskan diri untuk beralih profesi menjadi wiraswasta. Sebagai wiraswasta Pak Umar Bakri merasa kecukupan dari segi materi. Tetapi, dari kepuasan batin Pak Umar Bakri merasa asing dengan dunianya. Dia merindukan keceriaan, keluguan, dan kebandelan anak didiknya. Mungkin dia harus terlahir untuk menjadi pendidik bukan wiraswasta. Yang dihadapi kini hanyalah benda mati, yang tidak bisa diajak untuk berbagi keceriaan.
Lain halnya ketika dia berada di sekolah. Dia selalu ceria. Segi batinnya merasa terisi dan terpuaskan walaupun dari segi materi tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya.
Pak Umar Bakri sadar betul bahwa yang dibutuhkan oleh anak didiknya adalah pendidikan bukan pengajaran. Oleh karena itu, Pak Umar Bakri tidak pernah memarahi ataupun bahkan memukulnya jika ada anak didiknya berperilaku di luar kewajaran. Dengan sabar Pak Umar Bakri selalu menuntun dan mengarahkan siswanya apabila ada yang bertindak ‘nyeleneh’.
Prinsip yang selalu dipegang oleh Pak Umar Bakri hingga kini bahwa tugas guru adalah mendidik bukan mengajar. Mengajar adalah mudah, tapi mendidik lumayan susah. Kalau hanya sekadar ‘mengajar’, setiap orang (tidak punya profesi pendidik) tentu mampu. Mengajar cenderung bersifat transformasi ilmu pengetahuan. Lain halnya dengan ‘mendidik’. Mendidik merupakan proses pembentukan nilai-nilai norma, sopan-santun, perilaku, dan kematangan berfikir. Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat (sepakat?) memakai istilah ‘peserta didik, anak didik, pendidikan dasar, dinas pendidikan’, dan sebagainya bukan dengan sebutan ‘peserta ajar’, ‘anak ajar’, ‘pengajaran dasar’, dan ‘dinas pengajaran’.
Tidak mengherankan, kadang-kadang Pak Umar Bakri merenung dan berfikir keras apabila menjumpai teman kerjanya yang hanya sekadar datang, memberikan materi, dan pulang. Menurutnya, tidak perlu sekolah lagi apabila prosesnya demikian. Siswa cukup di’privat’kan; habis perkara.
Lebih memprihatinkan lagi, jika ada anak didik bermasalah, pihak pertama yang dipersalahkan adalah siswa bersangkutan. Janganlah anak yang sudah bersalah, justru dipersalahkan lagi. Alangkah arifnya jika kita peduli terhadap masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh anak didik. Kita tidak perlu menunggu timbulnya perilaku menyimpang anak, tetapi seharusnya mampu mendeteksi dan mencegah timbulnya masalah pada anak didik kita.
Yang sangat menyedihkan adalah tuntutan kesejahteraan yang ditujukan kepada pemerintah. Abdi masyarakat yang sudah sejahtera dan menjadi pegawai pemerintah ini mengharapkan lebih sejahtera lagi. Wajar jika pemerintah mengamini permintaan tersebut sebab pemerintah juga membutuhkan dukungan dari elemen pendidikan ini. Tapi, kita juga perlu berkaca bahwa apakah yang sudah kita berikan untuk anak didik (sekolah) sudah layak dihargai sedemikian besar? Padahal, kalau kita mau berbagi nasib; masih ada salah satu elemen dari pendidikan (sekolah) kita yang juga butuh perhatian, yaitu Guru Tidak Tetap dan Pegawai Tidak Tetap. Kita telah tahu loyalitas dan pengabdian mereka dalam pendidikan kita. Tidak hanya setahun dua tahun tetapi sudah puluhan tahun mereka mengabdikan diri di sekolah. Pernahkah kita peduli terhadap kehidupan keluarganya? Padahal, mereka juga merupakan salah satu bagian dalam rangka melaksanakan dan meningkatkan citra pendidikan kita. Mereka datang sebelum siswa datang, mereka pulang setelah siswa pulang. Mereka juga mempunyai prestasi. Tetapi, penghargaan apakah yang telah mereka dapatkan? Seharusnya kita merasa malu terhadap kenyataan ini.
KENYATAAN INI MEMBUAT MALU BAGI PAK UMAR BAKRI.

No comments: