Tuesday, 2 June 2009

100% Siswa 19 Sekolah Tidak Lulus?

Kabar mengejutkan kembali datang dari dunia pendidikan kita. Sebanyak 19 sekolah di negeri tercinta ini menghebohkan dengan angka ketidaklulusan sebesar 100%. Yang lebih parah lagi, di antara sekolah-sekolah tersebut terdapat beberapa sekolah yang sudah berstatus RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional). Ironis khan?

Kita tidak usah terburu-buru menghakimi siswa kalau toh benar mereka mencontoh kunci jawaban palsu yang beredar saat itu (ini khan belum terbukti secara hukum alias hanya praduga). Beberapa kemungkinan bisa muncul dari permasalahan tersebut. Kemungkinan-kemungkinan ini bisa mengindikasikan terdapatnya beberapa kejanggalan.
Pertama, siswa yang mengikuti UAN saat itu ternyata kini justru sudah diterima di berbagai PTN. Apakah mungkin, siswa yang jelas-jelas sudah diterima tersebut, baik melalui PMDK atau jalur khusus lainnya, masih mempunyai sikap percaya pada hal lain di luar kemampuannya. Siswa yang pandai, tentu akan percaya pada diri sendiri (buktinya bukan hanya satu atau dua orang saja). Kalau saat UAN dia diberi kunci jawaban pun, pasti dia merasa tidak tertarik. Karena dari awalnya dia sudah pandai.
Kedua, secara kelembagaan setiap sekolah (terlebih RSBI) tentu akan terpacu untuk menunjukkan jati dirinya sebagai sekolah yang pantas mendapat penghargaan sematan nama tersebut. Dan, bagi sekolah RSBI tentu mempunyai visi yang jelas tentang pendidikan yang dijalankan di lembaga tersebut. Tentunya, sekolah tersebut merasa risih apabila menggunakan langkah penyebarluasan jawaban UAN kepada siswanya terlebih dengan tujuan untuk meningkatkan image sekolah.
Ketiga, tidak adanya bantahan sama sekali dari pihak sekolah ataupun siswa-siswa sekolah bersangkutan. Tidak ada siswa yang membantah jika mereka merasa memang tidak melakukan hal tersebut. Secara kelembagaan, sekolah justru harus memberikan klarifikasi bahwa hal tersebut (penyebarluasan jawaban UAN palsu) tidak pernah dilakukan. Pihak sekolah tidak pernah melakukan hal tersebut, justru mengamini jika siswa-siswa melakukan praktek tersebut (tetapi belum pernah dilakukan interogasi kepada para siswa khan??) Langkah yang perlu dilakukan sekolah adalah melakukan cross check kepada siswa-siswanya terlebih dahulu, jangan menghakimi siswa (atau mencari kambing hitam atas 'pesanan'??)
Keempat, mengapa kejadian tersebut sampai terjadi pada daerah-daerah berbeda, bukan satu daerah saja. Kalau kemungkinan terjadi pemberian kunci jawaban palsu, daerah kasusnya hanya dalam batas wilayah kecil bukan skala nasional.
Kelima, perguruan tinggi negeri yang diberi tugas mengawal pelaksanaan UAN tempo hari belum (tidak pernah) mengklarifikasi tentang kasus tersebut. Yang terjadi sumber berita berpusat pada beberapa pihak saja. Seharusnya, harus ada perimbangan berita dari sumber penilai atau pendamping kegiatan UAN tersebut.
Alasan-alasan tersebut menarik untuk diperdebatkan. Apakah benar-benar siswa telah melakukan kegiatan tersebut? Mengapa sekolah mengamini (ikut menghakimi) siswa yang belum tentu bersalah? Begitu mudahnya vonis bahwa yang bersalah dalam kasus tersebut adalah siswa? Begitu mudahnya diadakan ujian ulang terhadap kasus tersebut.
Kalau toh boleh saya memberikan pertimbangan, mengapa siswa hamil (melahirkan?) saat UNAS dilarang mengikuti ujian? Padahal, belum tentu dia lulus ataukah tidak? Mengapa siswa-siswa yang bersalah (seperti "dirumahkan" di kantor polisi) masih mempunyai hak untuk ikut UNAS sementara siswa hamil/melahirkan tidak mempunyai hak? Marilah kita meluruskan dan menata sistem pendidikan kita bukan berdasarkan tawar menawar.

No comments: