Saturday 21 March 2009

CATATAN PEMILU DARI TAUFIK ISMAIL

Hanya dalam hitungan hari, kita akan melangsungkan pesta demokrasi di Indonesia tercinta. Ada baiknya kita renungkan kembali harapan Taufik Ismail untuk berproses kembali menjadi bangsa yang dihormati di dunia, seperti yang pernah kita alami setengah abad lebih yang silam. Kenangan dan harapan Taufik Ismail tersebut diwujudkan dalam bentuk bentuk puisi "Ketika Indonesia Dihormati Dunia" yang diterbitkan oleh Horison, Edisi XII, 2008.

Dengan rasa rindu kukenang pemilihan umum setengah abad yang lewat
Dengan rasa kangen pemilihan umum pertama itu kucatat
Peristiwa itu berlangsung tepatnya di tahun lima puluh lima
Ketika itu sebagai bangsa kita baru sepuluh tahun merdeka

Itulah pemilihan umum yang paling indah dalam sejarah bangsa
Pemilihan Umum pertama, yang sangat bersih dalam sejarah kita
Waktu itu tak dikenal singkatan jurdil, istilah jujur dan adil
Jujur dan adil tak diucapkan, jujur dan adil cuma dilaksanakan
Waktu itu tak dikenal istilah pesta demokrasi
Pesta demokrasi tak dilisankan, pesta demokrasi cuma dilangsungkan
Pesta yang bermakna kegembiraan bersama
Demokrasi yang berarti menghargai pendapat berbeda

Pada waktu itu tak ada huru-hara yang menegangkan
Pada waktu itu tidak ada setetes pun darah ditumpahkan
Pada waktu itu tidak ada satu nyawa melayang
Pada waktu itu tidak sebuah mobil pun digulingkan lalu dibakar
Pada waktu itu tidak sebuah pun bangunan disulut api berkobar
Pada waktu itu tidak ada suap-menyuap, tak terdengar sogok-sogokan
Pada waktu itu dalam penghitungan suara, tak ada kecurangan


Itulah masa, ketika Indonesia dihormati dunia
Sebagai pribadi, wajah kita simpatik berhias senyuman
Sebagai bangsa, kita dikenal santun dan sopan
Sebagai massa, kita jauh dari kebringasan, jauh dari keganasan

Tapi enam belas tahun kemudian, dalam 7 pemilu berurutan
Untuk sejumlah kursi, 50 kali 50 sentimeter persegi dalam ukuran
Rakyat dihasut untuk berteriak, bendera partai mereka kibarkan
Rasa bersaing yang sehat berubah jadi rasa dendam dikoborkan
Kemudian diacungkan tinju, naiklah darah,
lalu berkelahi dan berbunuhan
Anak bangsa tewas ratusan,
mobil dan bangunan dibakar puluhan

Anak bangsa muda-muda usia,
satu-satu ketemu di jalan mereka sopan-sopan
Tapi bila mereka sudah puluhan apalagi ratusan di lapangan
Pawai keliling kota,
berdiri di atap kendaraan, melanggar semua aturan
Di kepala terikat bandana, kaus oblong disablon,
di tangan bendera berkibaran
Meneriak-neriakkan tanda seru
dalam sepuluh kalimat semboyan dan slogan
Berubah mereka jadi beringas
dan siap mengamuk, melakukan kekerasan
Batu berlayangan, api disulutkan, pentungan diayunkan
Dalam huru-hara yang malahan mungkin, pesanan

Antara rasa rindu dan malu puisi ini kutuliskan
Rindu pada pemilu yang bersih dan indah, pernah kurasakan
Malu pada diri sendiri, tak mampu merubah perilaku
Bangsaku

No comments: